Friday, October 13, 2017

Post-Structuralist Feminist Discourse

What Is Post-Structuralist Feminist Discourse ?

In recent years, a number of doctoral and post-doctoral students have begun to explore and experiment with the use of a new theoretical and methodological approach to gender and language study: that of Feminist Post-Structuralist Discourse Analysis (FPDA). While there is a growing international interest in the FPDA approach, it is still relatively unknown in the wider community of discourse analysts. There is little published work as yet which directly draws on FPDA, but much fascinating work in the pipeline. At the moment, it is just a small fish in the big sea of discourse analysis; its future is far from certain and it may well be swallowed up whole by larger varieties, or choose to swim with the tide of Critical Discourse Analysis, which to some extent it resembles. 


Thursday, October 12, 2017

Mahabarata: Depiksi Kehadiran Tuhan dalam Dialektika Kemanusiaan (Perspektif Zizek)

Oleh: Alvin Dwi Saputra

Pendahuluan
Mahabarata adalah kisah warisan dunia yang berasal dari India. Mahabarata banyak memuat suri tauladan akan kejujuran, kepahlawanan, dan kebenaran. Di Indonesia, Mahabarata ialah kisah keteladanan yang telah diwariskan dari masa ke masa. Pada masa peradaban Hindu terdahulu, pujangga Jawa telah meresapi kisah Mahabarata dan mengasimilasikannya dengan budaya setempat. Meskipun telah dimodifikasi, kisah Mahabarata di Jawa tidak berbeda jauh dengan kisah Mahabarata di India.
Mahabarata merupakan penceriteraan tentang perseteruan antara para Pandawa dan saudaranya para Kurawa. Ikatan persaudaraan antara Pandawa dan Kurawa terbentuk karena ayah dari Pandawa, yakni Pandu, adalah adik dari Drestarata, ayah para Kurawa. Para Pandawa bukan merupakan putra Pandu secara langsung, melainkan atas anugrah para Dewa. Ketika itu, Pandu tidak dapat memiliki anak dari kedua istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Meskipun demikian, Dewi Kunti memiliki kemampuan untuk memanggil para Dewa guna meminta anugrah darinya. Oleh karena itu, Pandu memerintahkan Kunti untuk memanggil para Dewa untuk memperoleh anugrah berupa pemberian keturunan. Melalui Kunti, Pandu memperoleh anugrah tiga orang anak lelaki, yakni Yudistira atau Puntadewa, Bima atau Werkudara, dan Arjuna. Mengetahui kemampuan yang dimiliki Kunti, Dewi Madrim meminta Kunti untuk mengajarinya kemampuan tersebut. Setelah mempelajari ilmu tersebut, Dewi Madrim mendapatkan anugrah dua orang anak lelaki kembar, yaitu Nakula dan Sadewa. Meskipun berbeda ibu, kelima bersaudara tersebut hidup rukun dan saling bahu membahu dalam mengahadapi berbagai hal.
Di lain hal, Kurawa adalah keturunan Drestarata yang memiliki jumlah mencapai seratus satu orang bersaudara. Para Kurawa terdiri atas seratus orang lelaki dan seorang perempuan. Duryudana merupakan yang tertua di antara para Kurawa dan juga yang paling disegani. Duryudana mudah dipengaruhi oleh hasutan pamannya, yakni Sangkuni.
Perseteruan antara para Pandawa dan Para Kurawa bermula saat terjadi suksesi tahta kerajaan Hastinapura, yang kala itu dipegang oleh Drestarata. Setelah Drestarata lengser, tahta seharusnya diberikan kepada putra Pandu yang tertua, yakni Yudistira. Hal ini dikarenakan Drestarata hanya menjabat tahta sementara yang seharusnya dimiliki oleh Pandu. Drestarata tidak layak menjadi raja karena tidak dikaruniai penglihatan. Duryudana berdasarkan hasutan Sangkuni memiliki pandangan lain. Ia berpandangan bahwa tahta kerajaan Hastinapura sehausnya jautuh kepada dirinya. Duryudana merasa lebih berhak untuk menduduki singgasana kerajaan dibanding para putra Pandu. Perselisihan pun terus terjadi antara para Pandawa dan Kurawa hingga berujung pada Perang Baratayuda.
Di dalam perang Baratayuda, para Pandawa sebenarnya enggan untuk bertempur melawan sanak saudaranya sendiri di pihak lawan. Para Pandawa harus berhadapan dengan kakek yang sangat disayanginya, yakni Bisma, dan saudara tertuanya yang berjuang bersama para Kurawa karena hutang budi, yaitu Karna. Satu-satunya Pandawa yang mampu mengalahkan Bisma dan Karna ialah Arjuna. Dalam memerangi kerabatnya tersebut, Arjun selalu diliputi oleh keraguan. Arjuna merasa berat hati untuk melawan kerabat-kerabatnya. Krishna sebagai rekan Arjuna dalam perang Baratayuda ialah kunci keberhasilan Arjuna dalam memerangi keraguannya tersebut. Krishna adalah titisan Dewa Wishnu dimana sebagian besar umat Hindu menganggapnya sebagai representasi Tuhan Yang Maha Esa.


Permasalahan
Watak-watak tokoh dalam kisah Mahabarata merepresentasikan kepribadian manusia secara baik. Duryudana merupakan representasi manusia yang mudah terpengaruh, tamak, dan menjalankan berbagai cara untuk mendapatkan tahta. Sangkuni adalah representasi diri manusia yang berpikiran picik. Sangkuni selalu berpikiran picik terhadap putra Pandu dan kemudian meracuni Duryudana melalui pikirannya tersebut. Bisma dan Karna ialah representasi diri manusia yang memiliki keteguhan hati karena memiliki prinsip dalam kepribadiannya. Mereka merelakan dirinya berjuang dalam pihak yang salah untuk menjaga prinsipnya yang telah dipegang teguh selama ini. Bisma terpaksa untuk berjuang dalam pihak Kurawa karena saat perang Baratayuda berlangsung kekuasaan kerajaan Hastinapura dipegang oleh para Kurawa. Bisma sendiri berjanji untuk selalu membela teguh kehormatan Hastinapura apapun yang terjadi. Sedangkan, Karna terpaksa berjuang dalam pihak Kurawa karena terikat janji dengan Duryudana. Sejak awal, Karna tidak mengetahui bahwa ibu dari para Pandawa, yakni Dewi Kunti, adalah ibunya juga. Hal ini dikarenakan sejak kecil ia telah berpisah dengan ibunya dan diadopsi oleh orang lain. Ia baru mengetahui perihal identitas menjelang perang Baratayuda terjadi.
Mengingat hal ini, Mahabarata agaknya berusaha memberikan pelajaran bagi manusia bahwa sifat-sifat manusia yang seperti diwakili oleh Duryudana dan Sangkuni ialah hal yang tidak tepat. Kepribadian yang tamak, berpikiran picik, dan berniat buruk akan selalu membuahkan hasil yang buruk juga. Meski didukung oleh banyak ksatria hebat, Duryudana dan Sangkuni menghadapi kekalahan dan kematian dalam medan perang Baratayuda.
Selain hal di atas, Mahabarata juga menggambarkan proses dialektika yang dialami oleh manusia.. Saat berada dalam medang perang, Arjuna memiliki keraguan dalam dirinya untuk berhadapan dengan kerabatnya yang berada dalam pihak Kurawa. Pada keadaaan tersebut, “Yang Simbolik” berada dalam diri Arjuna tidak mampu membahasakan realitas yang sedang terjadi di depannya. Ia berhadapan dengan suatu hal yang disebut oleh Friedrich Hegel sebagai dialektika. Hal-hal yang mengisi diri Arjuna selama ini berkecamuk satu sama lain. Di satu pihak, ia merasa ragu untuk berhadapan dengan kerabat-kerabat yang disayanginya. Tetapi di lain hal, Arjuna harus memperjuangkan tahta Hastinapura untuk dikuasai oleh pihak yang berhak dan berkemampuan, yakni Yudistira atau Puntadewa yang merupakan kakaknya sendiri. Secara ringkas, dialektika memandang apa pun yang ada sebagai “kesatuan dari apa yang berlawanan”, sebagai “perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan”, sebagai ‘hasil dari, dan unsur dalam sebuah proses yang maju lewat negasi atau penyangkalan”.[1] Dialektika ialah proses dimana pengetahuan manusia terdahulu kemudian dinegasikan oleh pengetahuan manusia yang baru dan bersifat berlawanan. Proses dialktika menurut Hegel akan membuahkan pengetahuan absolut dalam diri manusia.
Manusia seringkali digambarkan mendapatkan pengetahuan absolut berdasarkan prsoses dialektika yang dilaluinya secara alami. Manusia mendapatkan pengetahuan awal secara sendiri dan kemudian menegasikannya bersadarkan pengalamannya. Akan tetapi, Mahabarata berusaha menggambarkan bahwa manusia tidak memperoleh pengetahuan absolut secara alami. Dalam tiap waktunya, manusia mendapatkan pengetahuan absolut tidak dengan sendirinya.

Manfaat
Tulisan ini berusaha menggambarkan bahwa proses dialektika dalam diri manusia. Dialektika merupakan bagian dari komunikasi intrapersonal. Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang, dimana ia berperan sebagai komunikator maupun sebagai komunikan.[2] Setiap manusia mengalami proses dialektika guna mendapatkan pengetahuan yang absolut. Pada umumnya, dialektika dianggap sebagai proses pencarian pengetahuan absolut yang hanya mengikutsertakan diri manusia itu sendiri sebagai pembentuk pengetahuan awal dan juga negasi terhadap pengetahuan tersebut. Hal ini memicu pandangan bahwa diri manusia mampu memperoleh pengetahuan yang absolut tanpa memerlukan campur tangan dari sesuatu yang lain. Kisah Mahabarata ikut menceriterakan tentang proses dialektika yang berada dalam diri manusia. Dialektika diwujudkan dalam kebimbangan Arjuna untuk melawan atau menghindari diri dari posisi saling berhadapan dengan kakek yang disayanginya, Bisma, dan kakak tertuanya, Karna. Arjua merasa berat hati untuk melawan keduanya. Dalam kisah Mahabarata, proses dialektika menemukan makna lain yang sebelumnya tidak begitu dianggap. Analisis terhadap kisah Mahabarata dapat menggambarakan secara baik proses dialektika yang tidak hanya melibatkan diri seseorang saja sebagai sumber pengetahuan.
Kerangka Konseptual
Tulisan ini menggunakan konsep pemikiran Slavoj Zizek sebagai kerangka utama analisa. Slavoj Zizek ialah seorang filsuf berkewarganegaraan Slovenia yang lahir pada tanggal 21 Maret 1949 di Ljubljana, Slovenia. Zizek menyelesaikan pendidikan sarjana, magister, dan doktoral dalam bidang ilmu filsafat dan sosiologi di Universitas Ljubljana. Di samping itu, ia juga mendapatkan gelar doktor dalam bidang psikoanalisa di Universitas Paris VII. Pemikiran Zizek banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat lain, yakni Friedrich Hegel, Karl Marx, dan Jean Jacques Lacan. Friedrich Hegel memengaruhi Zizek dalam hal metodologi, terutama tentang proses dialektika. Slavoj Zizek dipengaruhi Karl Marx dalam hal ideologi. Sedangkan, Jean Jacques Lacan memengaruhi Zizek terkait pemikirannya tentang “Yang Imajiner”, “Yang Simbolik”, dan “Yang Nyata”. Slavoj Zizek dikenal sebagai filsuf paling berbahaya di dunia Barat kini karena pemikirannya yang memadukan Marxisme dan Strukturalisme.

Triad Lacanian
Jean Jacques Lacan banyak memengaruhi Slavoj Zizek terkait konsep “Yang Imajiner”, “Yang Simbolik”, dan “Yang Nyata”. Konsep yang diutarakan Jean Jacques Lacan tersebut merupakan penyemangat bagi Zizek untuk memanaskan dan mengemukakan kembali konsep tentang subyek. Sebelumnya, banyak filsuf yang telah berupaya untuk mengagungkan ataupun menenggelamkan konsep subyek. Slavoj Zizek berusaha merumuskan kembali konsep subyek yang sebenarnya berdasarkan pemikiran Lacan.
Triad Lacanian menyatakan manusia sebagai subyek mengalami tiga tahap perkembangan. Pada tahap awal, manusia mengalami fase yang dinamakan tahap imajiner. Tahap imajiner terjadi saat manusia berusia sekitar 6 sampai dengan 18 bulan. Tahap ini juga dikenal sebagai mirror stage. Mulanya, manusia lahir tidak mengenal gambaran dirinya. Manusia baru mengetahui dirinya saat melihat refleksi dirinya melalui cermin. Cermin yang dilihat manusia dapat merupakan cermin sungguhan ataupun cermin dalam makna konotasi, seperti diri orang lain. Kemudian, manusia merasa takjub akan gambaran dirinya dalam cermin. Manusia memiliki hasrat untuk memilki kesatuan antara dirinya dan refleksi dirinya dalam cermin. Pada tahap ini, manusia mengalami proses alienasi dan tahap simbolik dimulai. Proses ini memaksa manusia untuk menerjemahkan realitas yang terdapat di hadapannya. Hal ini membuat “Yang Simbolik”, dalam hal ini bahasa, dengan mudah memasuki diri manusia. “Yang Simbolik” adalah bagian dari Big Other yang merupakan gambaran kekuasaan hal simbolik. Big Other dapat merujuk pada institusi hukum dan politik di lingkungan sekitar subyek. Pemikiran manusia dipengaruhi oleh Chain Of Signifier, dimana signifier (penanda) dan signified (petanda) saling mengejar satu sama lain untuk dapat memaknai segala hal. Manusia telah terjerat oleh “Yang Simbolik” yang berada dalam dirinya. Kemudian, manusia memasuki tahap terakhir dari Triad Lacanian, yakni tahap Yang Nyata. Tahap ini menyatakan bahasa sama sekali belum masuk atau merupakan realita yang belum terbahasakan.[3] Pada tahap ini, manusia menyadari tidak semua makna dalam dirinya dapat terbahasakan. Makna yang tidak dapat terbahasakan tersebut layaknya sebuah pulau tidak berpenghuni yang tidak dapat terjamah oleh berbagai pendatang. Makna yang tidak dapat terbahasakan ini bersifat abadi sebab Chain Of Signifier mengalami lackness. Tahap Yang Nyata ini merupakan tahap yang akan selalu dikejar oleh manusia. Tahap Yang Nyata membuat manusia sadar bahwa tidak seluruh bagian dalam diri manusia dapat dikuasai oleh Big Other, simbol kekuasaan “Yang Simbolik”. Oleh karena itu, setiap manusia tetap memiliki kuasa atas makna dalam dirinya meski terdapat “Yang Simbolik”.

Authentic Action
Subyek akan selalu mengalami kegagalan untuk dapat merepresentasikan dirinya. Hal ini disebabkan oleh “Yang Simbolik”  dalam diri subyek tidak dapat merepresentasikan diri subyek seluruhnya. Subyek menyadari kekurangannya dan menerima kegagalannya. Akan tetapi, subyek akan terus berusaha untuk melakukan pemenuhan atas kekurangannya. Oleh karena itu, subyek yang menerima kegagalan tidak dapat dimaknai sebagai rasa menyerah. Sebaliknya, subyek yang menemui kegagalan akan selalu berusaha melakukan penolakan terhadap realitas yang dihadapinya.
Subyek yang melakukan penolakan terhadap realitas menggambarkan bahwa terdapat keoptimisan. Subyek memiliki rasa optimis untuk memenuhi kekurangannya meski dihadapkan pada ketidakmungkinan. Kemudian, subyek melakukan action sebagai bentuk perlawanan terhadap kekurangannya. Action yang dilakukan oleh subyek tidak dapat memenuhi kekurangannya, tetapi memiliki makna yang sangat penting.
Menurut Zizek, beberapa film Barat dapat menganalogikan usaha subyek untuk memenuhi kekurangannya meski terbentur ketidakmungkinan. Dalam film-film tersebut, subyek melakukan tindakan-tindakan radikal sebagai rasa optimis mampu memenuhi kekurangan. Zizek menyatakan tindakan radikal tersebut sebagai usaha subyek untuk meninggalkan “Yang Simbolik” lama dalam dirinya dan menjemput “Yang Simbolik” baru. “Yang Simbolik” baru lebih dapat mengisi kekurangan dalam diri subyek, meski tidak menghilangkan kekurangan tersebut.
Salah satu film yang Zizek anggap tepat untuk menggambarkan usaha subyek memenuhi kekurangannya ialah film General Della Rovere. Film ini mengisahkan seorang pencopet amatir, bernama Bertone, yang ditangkap oleh pasukan Gestapo Jerman. Bertone dipaksa untuk menyamar sebagai individu lain oleh pasukan Gestapo. Bertone memutuskan untuk mengambil peran sebagai Jendral Della Rovere. Sebagai Jendral Della Rovere, Bertone ditugaskan untuk memata-matai pasukan musuh Jerman. Jendral Della Rovere merupakan sosok idola Bertone, tetapi ia telah gugur dalam pertempuran. Bertone yang ditugaskan sebagai mata-mata kemudian membelot. Bertone menikmati penyamarannya sebagai Jendral Della Rovere meski harus meninggalkan identitas lamanya. Film ini menunjukan bahwa diri manusia sebagai subyek lebih memilih untuk bertahan pada peran palsunya daripada harus kembali pada dirinya sendiri yang bukan siapa-siapa dan tidak berarti[4].
Selain itu, Zizek juga memberikan contoh lain tentang kehendak bebas subyek dengan mengulas film German, Year Zero. Film ini mengisahkan tentang Edmund, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun. Dalam banyak kesempatan, Edmund selalu diajarkan oleh gurunya untuk berusaha keras memperjuangkan hidupnya dan cara mempertahankan hidup ialah dengan tidak mengedepankan rasa belas kasih karena dapat membuat diri manusia lemah. Edmund memiliki seorang ayah yang tengah mengalami sakit dan  tidak memiliki tujuan hidup lebih lanjut. Atas dasar ajaran gurunya, Edmund kemudian mengakhiri ajal ayahnya karena menganggap ayahnya tidak berusaha memperjuangkan hidup dan dapat menimbulkan kelemahan bagi dirinya. Setelah itu, Edmund yang diberikan label sebagai seorang pembunuh oleh lingkungannya berusaha untuk bersosialisasi kembali dengan teman sebayanya. Tetapi, teman sebayanya menolak Edmund karena merasa takut akan tindakan yang dilakukan oleh Edmund. Edmund yang terus mengalami penolakan dalam dunia sosial kemudian memutuskan untuk mengakhiri riwayatnya. Ia melakukan bunuh diri dengan cara terjun dari gedung yang memilki ketinggian. Tindakan yang dilakukan oleh Edmund ialah bentuk kehendak bebas. Ia melakukan action, dalam hal ini bunuh diri, untuk menjemput “Yang Simbolik” baru, yakni kehidupan sesudah kematian. Ia merasakan “Yang Simbolik” lama, yakni kehidupan masa kecilnya yang susah, tidak dapat lagi memenuhi kekurangannya. Oleh karena itu, Edmund melakukan aksi bunuh diri sebagai kehendak bebasnya untuk melakukan penjemputan terhadap “Yang Simbolik” baru. Ia berharap “Yang Simbolik” baru dapat memenuhi kekurangan yang dialaminya selama ini.
Film-film tersebut menunjukkan bahwa subyek dapat menolak keberadaan dirinya sendiri agar dapat memenuhi kekurangannya. Subyek memiliki rasa optimis untuk memenuhi kekurangannya dan diwujudkan dalam bentuk action. Action yang dilakukan oleh subyek ialah kehendak bebas. Dalam melakukan action, subyek tidak dipaksa oleh siapapun dan dengan sadar melakukannya. Action yang dilakukan oleh subyek memiliki dimensi yang tidak dapat diperkirakan. Subyek yang melakukan action dapat menunjukkan bahwa subyek memiliki keinginan untuk memutus rantai ikatannya dengan “Yang Simbolik” lama. Kemudian, subyek berusaha memperoleh “Yang Simbolik” baru, meski akan mengalami kehilangan identitas dirinya yang lama. Hal ini menunjukkan subyek dalam pemikiran Zizek ialah subyek yang optimis dan juga berani. Subyek memiliki keberanian dan ditunjukkan melalui action.

Vanishing Mediator
Tindakan authentic action seorang subyek dapat dipengaruhi oleh vanishing mediator. Vanishing mediator merupakan salah satu konsep hasil pemikiran Slavoj Zizek. Vanishing mediator adalah sebuah konsep ketika seseorang bernegosiasi dan terbiasa dengan suatu hal, masa transisi dari konflik mengenai hal tersebut akan menghilang.[5] Dalam konsep ini, Slavoj Zizek ikut menemukan pemikiran Friedrich Hegel mengenai dialektika. Vanishing mediator akan mengarahkan manusia untuk meraih pengetahuan yang sebenar-benarnya atau menempatkan manusia kepada “Yang Simbolik” lain.

Diskusi
Setelah menghadirkan Dewa Darma dan Dewa Bayu, Dewi Kunti memohon anugrah keturunan dari Dewa Indra. Dewa Indra merupakan dewa yang menjadi pemimpin perang para Dewa. Dewa Indra kemudian memberikan karunia kepada Kunti, yakni seorang anak bernama Arjuna. Seperti halnya Dewa Indra, Arjuna juga memiliki kemahiran dalam mempergunakan berbagai peralatan perang, khususnya panah.
Dalam kisah Mahabarat, Arjuna memegang peranan penting dalam usaha Pandawa merebut kekuasaan kerajaan Hastinapura. Arjuna menjelma menjadi ksatria terhebat dalam kubu Pandawa. Selain hebat, Arjuna juga diliputi oleh rasa kasih sayang, terlihat dengan rasa hormatnya terhadap pemimpin perang para Kurawa yang merupakan kerabatnya sendiri.

Pembentukan Diri Arjuna Sebagai Subyek
Sebagaimana manusia lain, Arjuna juga mengalami tahap-tahap perkembangan manusia menjadi subyek. Tahap imajiner atau mirror stage berlaku bagi Arjuna saat ia melihat gambaran dirinya melalui cermin. Cermin yang menggambarkan Arjuna dapat cermin dalam arti sebenarnya ataupun cermin dalam makna lain, seperti manusia lain. Cermin yang dilihat Arjuna ialah sosok ayahnya, Pandu. Pandu ialah pribadi yang pintar dan memiliki sifat bijaksana, sabar, dan penuh kasih sayang. Kemudian, Arjuna merasa takjub akan penggambaran dirinya melalui cermin. Hal ini memunculkan keinginan Arjuna untuk mempersatukan dirinya dengan refleksi dirinya dalam cermin.
Saat Arjuna berusaha mempersatukan dirinya dan refleksi dirinya dalam cermin, “Yang Simbolik” memasuki diri Arjuna. “Yang Simbolik” adalah bahasa yang berusaha merepresentasikan keberadaan makna dalam diri manusia. “Yang Simbolik” membantu Arjuna untuk merepresentasikan dirinya sesuai dengan cermin yang ia lihat saat tahap mirror stage. Dalam diri Arjuna, “Yang Simbolik” menghasilkan Chain Of Signifier. Chain Of Signifier berusaha membuat segala pemaknaan akan realitas yang dihadapi oleh subyek. Meski demikian, Chain Of Signifier dapat mengalami lackness. Hal ini dikarenakan tidak semua makna dapat diproduksi oleh Chain Of Signifier. Subyek memiliki sebuah wilayah dalam dirinya yang tidak dapat dimasuki oleh “Yang Simbolik”. Wilayah ini seperti pulau tidak berpenghuni yang tidak dapat terjamah oleh para pendatang, dalam hal ini “Yang Simbolik”. Wilayah ini bersifat abadi dan tidak dapat ditembus oleh “Yang Simbolik”.
Tahap dimana terdapat makna yang tidak dapat terbahasakan oleh “Yang Simbolik” disebut sebagai tahap Yang Nyata dalam Triad Lacanian. Tahap Yang Nyata akan terjadi saat subyek menydari bahwa terdapat makna dalam dirinya yang tidak dapat disentuh oleh “Yang Simbolik”. “Yang Simbolik” memang akan selalu mengisi diri subyek dan berusaha memberikan pemahaman. Tetapi, “Yang Simbolik” tidak dapat menguasai pemaknaan dalam diri subyek sepenuhnya. “Yang Simbolik” tidak mampu menjamah wilayah makna dalam diri subyek seutuhnya. Oleh karena itu, subyek pada dasarnya memiliki kuasa atas dirinya meski telah dimasuki oleh “Yang Simbolik”.
Saat berada dalam medan perang Baratayuda, Arjuna tengah berada dalam tahap Yang Nyata. Hal ini dinyatakan dengan keengganan dan rasa berat hati Arjuna untuk berhadapan dengan kakek yang disayanginya, yaitu Bisma, dan saudaranya, Karna. Arjuna tidak dapat membahasakan realita yang berada di hadapannya. Hal ini dikarenakan “Yang Simbolik” yang berada dalam diri Arjuna tidak mampu merepresentasikan makna yang ada. “Yang Simbolik” berada dalam diri Arjuna merupakan simbolik-simbolik yang berkaitan dengan sifat kasih sayang. “Yang Simbolik” mengisi diri Arjuna merupakan simbolik-simbolik yang berkaitan dengan refleksi dirinya dalam cermin, yakni Pandu. Arjuna yang sebenarnya ksatria hebat telah dipenuhi oleh rasa kasih sayang.
Arjuna yang juga merupakan anugrah dari Dewa Indra, sebenarnya mewarisi berbagai sifat Dewa Indra. Dewa Indra dikenal sebagai pemimpin perang para Dewa. Dewa Indra memiliki fungsi demikian karena ia memiliki kekuatan yang yang sangat luar biasa. Sifat Dewa Indra sebagai ksatria terwarisi dalam diri Arjuna. Arjuna memiliki berbagai kemahiran dalam menggunakan peralatan perang. Akan tetapi, Arjuna merefleksikan gambaran dirinya melalui ayahnya, Pandu, sehingga ia kehilangan identitasnya sebagai seorang ksatria.
            “Yang Simbolik” dalam diri Arjuna tidak dapat merepresentasikan makna dalam diri Arjuna. Arjuna menyadari hal tersebut karena ia memiliki kuasa akan dirinya. Diri Arjuna tidak dikuasai oleh “Yang Simbolik” secara utuh. Oleh karena itu, ia membutuhkan “Yang Simbolik” lain guna merepresentasikan makna dalam dirinya yang tidak dibahasakan oleh ‘Yang Simbolik” lama.

Kehadiran Krishna Sebagai Vanishing Mediator
Dalam pemikiran Zizek, Vanishing Mediator ialah suatu hal dalam masa transisi yang akan memengaruhi subyek. Setelah masa konflik tersebut usai, Vanishing Mediator akan menghilang karena telah berhasil menjalankan perannya. Arjuna memerlukan seorang Vanishing Mediator guna mengakhir dialektika dalam dirinya. Pada perang Baratayuda, dalam diri Arjuna terus berkecamuk oleh dialektika yang berada dalam pemikirannya. Arjuna terus memikirkan tindakan yang harus ia lakukan terkait tugasnya memerangi Bisma dan Karna. Di satu hal, ia masih berhadapan dengan “Yang Simbolik” dalam dirinya yang menyatakan bahwa ia harus memiliki rasa kasih sayang dan menolak berperang dengan Bisma dan Karna. Tetapi, pengetahuan tersebut dinegasikan oleh pengetahuan lain, dimana Arjuna harus memerangi Bisma dan Karna guna membantu kakaknya, Yudistira, mendapatkan tahta Hastinapura yang memang merupakan haknya.
Dalam masa konflik pemikiran tersebut, Krishna hadir sebagai seorang Vanishing Mediator. Pada masa perang Baratayuda, Krishna berperan sebagai pengatur siasat para Pandawa dan juga kusir kereta perang Arjuna. Krishna berjanji untuk tidak ikut serta dalam peperangan sehingga tidak turun langsung untuk berperang. Krishna merupakan salah dari sepuluh titisan Dewa Wishnu. Krishna merupakan saudara sepupu dari para Pandawa. Tali persaudaraan tersebut terbentuk karena Dewi Kunti ialah saudara dari kedua orangtuanya. Dalam agama Hindu, sebagian besar umat menganggap Dewa Wishnu merupakan Dewa tertinggi dan representasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan Krishna dalam perang Baratayuda dapat dikatakan sebagai campur tangan Tuhan Yang Maha Esa dalam memberikan pelajaran kepada seluruh manusia.
Arjuna yang tengah berada dalam konflik pemikiran yang sangat rumit kemudian diberikan pencerahan oleh Krishna. Krishna berusaha menghadirkan “Yang Simbolik” baru kepada Arjuna. Arjuna kemudian menegasikan “Yang Simbolik” lamanya tersebut dengan pengetahuan baru yang dihadirkan oleh Krishna. Krishna menerangkan bahwasannya sifat kasih sayang memang harus ada di dalam dunia ini. Tetapi, Arjuna berperan sebagai seorang ksatria dalam perang Baratayuda sehingga harus menjalankan perannya. Krishna menjelaskan bahwa benih-benih kebatilan yang berada dalam benak para Kurawa harus dilenyapkan. Kebatilan tersebut harus dilenyapkan meski harus berhadapan dengan kerabat sendiri.
Krishna berusaha menanamkan kepada diri Arjuna bahwa tindakan yang paling benar dilakukan oleh Arjuna ialah berperang melawan Bisma dan Karna. Meski, Bisma dan Karna adalah kerabat Karna tetapi mereka berada dalam pihak yang berlawanan dengan kebenaran. Krishna menghadirkan hal yang demikian juga agar menjadi petuah dan pembelajaran bagi manusia bahwa segala macam kebatilan pada akhirnya akan dihapuskan oleh tindakan kebenaran seorang ksatria.

Arjuna Melakukan Authentic Action
Dalam kerangka konsep telah dijelaskan bahwa Zizek menganggap subyek memiliki rasa optimis dan keberanian. Subyek memiliki kesadaran bahwa dirinya akan selalu dihadapkan pada kekurangan. Subyek menerima kekurangannya tetapi tidak berhenti untuk menyerah. Subyek memiliki rasa optimis untuk memenuhi kekurangannya meski akan terus dihadapkan pada ketidakmungkinan. Subyek merasa perlu untuk menjemput “Yang Simbolik” baru. Subyek optimis bahwa “Yang Simbolik” baru dapat memenuhi kekurangannya dibanding “Yang Simbolik” lama lakukan. Subyek memiliki keberanian untuk memutus ikatan dengan “Yang Simbolik” lama walau akan kehilangan identitas terdahulunya yang mungkin sangat berharga.
Arjuna merupakan subyek yang sadar bahwa dirinya telah dihinggapi oleh berbagai kekurangan. Arjuna menyadari bahwa tidak dapat membahasakan realitas yang dihadapinya dalam medan perang Baratayuda. Ia menerima kekurangannya, tetapi tidak mneyerah begitu saja. Subyek dalam pemikiran Zizek ialah subyek yang optimis. Arjuna yang tengah menerima kekurangannya, tetap berjuang dengan sepenuh hati guna menemukan “Yang Simbolik” baru yang dapat mengisi kekurangan representasi makna dalam dirinya. Krishna hadir sebagai vanishing mediator dan menghadirkan “Yang Simbolik” baru yang dapat membahasakan realitas yang berada di hadapan Arjuna.
Arjuna sebagai subyek yang optimis kemudian menjemput “Yang Simbolik” baru. Selain optimis, Arjuna dapat dikatakan sebagai subyek yang berani. Arjuna telah melakukan suatu tindakan yang berani dengan menjemput “Yang Simbolik” baru dan memutus rantai ikatan “Yang Simbolik” lama. Ia berani untuk meninggalkan “Yang Simbolik” lama yang dapat saja mengandung hal yang sangat berharga dirinya. Ia menjemput “Yang Simbolik” baru dan mewujudkan dalam bentuk tindakan. Arjuna yang telah mendapatkan pengetahuan baru kemudian menegasikan pengetahuannya tersebut dengan pengetahuannya yang lama. Jika dahulu, ia ragu untuk bertarung dengan Bisma dan Karna karena dirinya diliputi oleh rasa kasih sayang. Maka, “Yang Simbolik” baru menghadirkan pengetahuan bahwa kebatilan harus ditumpas meski harus melawan kerabat sendiri. Arjuna memperoleh pengetahuan absolut dan mewujudkannya dalam bentuk keberanian melawan Bisma dan Karna.
Atas bantuan Srikandi, Arjuna berhasil mengalahkan kakek yang disayanginya, Bisma. Di samping itu, ia juga berhasil mengalahkan Karna dengan kesaktian ilmunya. Hal ini telah menunjukkan bahwa Arjuna telah menemukan representasi makna dalam dirinya yang selama ini belum dapat terbahasakan, yakni menjadi ksatria yang sesungguhnya dalam medan perang. Arjuna harus dapat mengorbankan rasa kasih sayangnya agar dapat mewujudkan cita-cita yang luhur, yakni menegakkan keadilan dan hak nya yang telah terenggut oleh para Kurawa.

Krishna Sebagai Campur Tangan Tuhan Dalam Dialektika Manusia
Krishna sebagai pemberi jalan pengetahuan bagi Arjuna tidak dapat dipandang sebagai vanishing mediator saja. Krishna merupakan titisan Dewa Whisnu yang seringkali disenut sebagai representasi Tuhan Yang Maha Esa. Kehadiran Krishna dalam memberikan jalan bagi dialektika Arjuna agaknya menggambarkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebenarnya hadir dalam prosese pembentukan pengetahuan absolut manusia. Tuhan Yang Maha Esa berperan serta aktif dalam menunjukkan jalan pengetahuan bagi manusia. Oleh karena itu, selain menunjukkan nilai luhur mengenai kebenaran, kejujuran, dan kepahlawanan, Mahabarata juga tampaknya merupakan kisah yang berusaha menggambarkan perannan Tuhan Yang Maha Esa dalam memecah dialektika manusia.

Kesimpulan
Mahabarata ialah kisah warisan dunia yang banyak memberikan banyak pembelajaran terhadap umat manusia. Mahabarata memberikan pelajaran berupa penggambaran tentang kebenaran yang akan selalu mengalahkan kebatilan. Selain itu, Mahabarata juga menggambarkan secara baik dialektika yang terjadi dalam diri manusia. Dialektika akan selalu hadir dalam pemikiran manusia guna membantu manusia mendapatkan pengetahuan yang absolut. Dalam kisah Mahabarata, proses dialektika digambarkan dalam diri Arjuna. Arjuna merupakan salah satu di antara Pandawa yang ikut berusaha merebut kekuasaan kerajaan Hastinapura dari tangan para Kurawa. Kekuasaan Hastinapura selayaknya dimiliki oleh para Pandawa karena ayah para Kurawa, Drestarata, hanya bertugas menjaga tahta kerajaan yang sebelumnya diduduki oleh ayah para Pandawa, yakni Pandu. Anak-anak Drestarata, para Kurawa, merasa berhak akan tahta itu kemudian terjadi perselisihan akan suksesi tahta. Para Pandawa berusaha memperjuangkan hak nya dan menjadikan Yudistira, kaka tertua para Pandawa, sebagai raja Hastinapura yang baru. Perjuangan ini menempuh berbagai halangan hingga akhirnya berujung konflik pada perang Baratayuda.
Arjuna merupakan salah satu Pandawa yang ikut memperjuangkan hak nya terhadap para Kurawa. Dalam medan perang, Arjuna dihantui oleh kebimbangan. Arjuna dilanda oleh rasa bimbang karena ia harus bertempur melawan kakek yang disayanginya, Bisma, dan kakak yang baru ditemuinya, Karna. Ia merasa berat hati untuk melawan kedua ksatria tersebut. Arjuna harus melawan keduanya karena Bisma dan Karna berdiri di pihak Kurawa. Di lain hal, Arjuna harus tetap bertempur melawan keduanya guna memperoleh tahta Hastinapura kembali dari tangan Kurawa dan menjadikan kakak tertuanya, Yudistira atau Puntadewa, sebagai raja Hastinapura.
 “Yang Simbolik” dalam diri Arjuna tidak dapat membahasakan realitas yang dihadapi olehnya seperti demikian. Arjuna sedang berdialektika karena dalam dirinya berkecamuk pengetahuan yang lama, yakni representasi dirinya terhadap Pandu, dan “Yang Simbolik” baru, yaitu keinginan dirinya untuk menjadikan kakaknya, Yudistira, sebagai pemegang kuasa kerajaan Hastinapura yang baru. “Yang Simbolik” tersebut terus berkecamuk dalam diri Arjuna hingga membuat ia bimbang.
Kemudian, Krishna sebagai titisan Dewa Wishnu memberikan pengarahan kepada Arjuna guna memeproleh pengetahuan baru yang bersifat absolut. Arjuna sebagai manusia dan subyek tidak mampu untuk mendapatkan pengethaun absolut atas pengetahuan-pengetahuan yang saling bernegasi dalam dirinya. Krishna bertindak sebagai Vanishing Mediator menunjukkan kepada Arjuna “Yang Simbolik” baru dan berusaha mengarahkan diri Arjuna pada hal tersebut. Arjuna sebagai subyek memiliki kuasa atas dirinya untuk memutus “Yang Simbolik” lama dalam dirinya guna memperoleh pengetahuan baru yang absolut. Oleh karena itu, ia kemudian melepaskan rantai pengekang dari “Yang Simbolik” lama untuk menjemput “Yang Simbolik” baru yang dihadirkan oleh Krishna.
Krishna menghadirkan “Yang Simbolik” baru berupa pengetahuan bahwa rasa kasih sayang seperti “Yang Simbolik” lama memang diperlukan oleh diri manusia. Tetapi, Arjuna sebagai harus tetap menunaikan perannya untuk menumpas segala angkara murka meski harus berhadapan dengan kerabat dekatnya sekalipun. Arjuna sebagai subyek sadar akan kekurangan representasinya terdahulu. “Yang Simbolik” lama tidak berhasil membahasakan diri Arjuna yang sebenarnya memiliki jiwa ksatria. Arjuna sebagai obyek yang optimis kemudian berani melepas segala belenggu “Yang Simbolik”. Arjuna menjemput “Yang Simbolik” baru yang dihadirkan oleh Krishna. Tindakan peralihan Arjuna kepada :Yang Simbolik” yang baru merupakan hal yang baru karena ia dapat saja meninggalkan hal-hal terdahulu yang sangat berharga bagi dirinya.
Arjuna yang telah melakukan peralihan, kemudian mengisi dirinya dengan “Yang Simbolik” baru. “Yang Simbolik” baru mampu mengisi ruang dalam diri Arjuna sebagai ksatria yang tidak dapat terbahasakan oleh “Yang Simbolik” lama. Perpindahan Arjuna kepada “Yang Simbolik” baru banyak dipengaruhi oleh Krishna. Arjuna sebagai manusia telah banyak diarahkan oleh Krishna yang merupakan perwujudan Tuhan Yang Maha Esa guna mendapatkan pengetahuan yang sebanar-benarnya.
Mahabarata banyak memberikan penjelasan tentang proses dialektika dalam diri manusia. Manusia direpresentasikan dalam bentuk Arjuna, sedangkan Tuhan Yang Maha Esa direpresentasikan dalam wujud Krishna yang memang merupakan titisannya. Melalui penggambaran Krishna, Mahabarata berusaha menghadirkan pemahaman bahwa pengetahuan absolut manusia tidak hanya terbentuk atas pengetahuan yang didalami oleh manusia, melainkan juga atas campur tangan Tuhan Yang Maha Esa, yang digambarkan melalui Krishna.


Daftar Pustaka
Dr. Purwadi, M. H. (2004). Mahabarata. Yogyakarta: Media Abadi.
Efendi, E. (2011). Kehadiran Subyek Di Tengah Kekosongan : Subyek Dialektis Menurut Slavoj Zizek , 75.
Jayanti, S. M. (2012). Problematika Fantasi dan Emansipasi Dalam Pemikiran Slavoj Zizek , 57.
Kingsland, V. M. (1997). Simple Guide To Hinduism. Kent: Global Books Limited.
Kristiatmo, T. (2007). Redefinisi Subyek Dalam Kebudayaan : Pengantar Memahami Subyektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek. Bandung : Jalasutra.
Mazdalifah. (2004). Komunikasi Intrapersonal Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi Komunikasi , 5.
Suseno, F.-M. (1999). Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yusari, I. (2012). Subyek Menurut Slavoj Zizek. Subyek Dalam Pemikiran Slavoj Zizek , 74.



[1] Franz-Magnis Suseno dalam Pemikran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, 1999.
[2] Mazdalifah dalam jurnal Komunikasi Intrapersonal Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi Komunikasi, 2004.
[3] Robertus Robet dalam skripsi Indah Yusari berjudul Subyek Dalam Pemikiran Slavoj Zizek, 2012.
[4] Slavoj Zizek dalam skripsi Indah Yusari berjudul Subyek Dalam Pemikiran Zizek, 2012.
[5] Thomas Kristiatmo. Redefinisi Subyek Dalam Kebudayaan : Pengantar Memahami Subyektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek. 2007.

Framed and Mounted: Sport on The Photographic Eyes

Jennifer Hargreaves (1993) menyatakan, bahwa majalah dan koran olahraga semakin berkembang dan semakin banyak jumlahnya. Tapi yang selalu terlihat untuk atlit wanita adalah sisi feminiti nya dibandingkan dengan sisi atletik/olahraga nya. Contoh, ada atlit wanita dan atlit pria yang berfoto bersama dalam satu frame, namun atlit pria yang lebih mendominasi atau menonjol dan atlit wanita seperti pendukung; foto atlit pria yang dikelilingi dan dikagumi oleh banyak wanita-wanita disekililingnya; foto atlit wanita yang sedang menangis terharu dan di rangkul atau dekati oleh suami atau kawanan atlit lainnya; yang mana sama sekali tidak menunjukkan keterkaitannya dengan olahraga; dalam konteks domestik, hamil atau mempunyai anak; dan foto-foto dari atlit wanita yang lebih menonjolkan dari sisi make up, hair do, dan wardrobe
Momen-momen epicolahraga, dari proses, puisi, gambar bergerak, hal-hal yang paling dikenang hanya dapat ditangkap dan masih oleh fotografi.Pandangan mengenai ‘frozen in time’ adalah sebuah gesture atau gimik terkenal yang mampu menyampaikan sejarah, emosi, dan perasaan unik. Salah satu yang paling berkesan adalah momen ‘black power’oleh Tommie Smith dan John Carlos pada podium kemenangan di Olimpiade Meksiko 1968 (Given 1995; Johnson dan Roediger 2000; Guttmann 2002), yang pada 1990-an, telah dimasukkan ke dalam Kampanye pemasaran leisurewear korporat sebagai gambar chic radikal hitam funky (McKay 1995).
Objek yang paling penting dalam fotografi olahraga instrumen utama olahraga, yaitu tubuh manusia. Raga olahragawan diamati dengan seksama  melalui gambar yang mencolok yang menarik kekuatan mereka bukan hanya dari aksi, tapi dengan mengenali tubuh yang dicitrakan pada masalah dan identitas sosial yang lebih luas.  Oleh karena itu tubuh dalam fotografi olahraga selalu diinvestasikan dengan peran representasional yang lebih luas seperti seksualitas, gender, rasial, dan sebagainya. Seperti media olahraga yang tertulis, foto dapat diklasifikasikan menurut genre dan sub-genre, maisng-masing memiliki kualitas, motif , dan kemiripan yang berbeda.
Hal ‘utama’ masih tentang teks fotografi olahraga yang ditangkap, 1) menarik perhatian kita, 2) citra yang mengubah pembaca saat mereka membuka halaman melalui kekuatan visual dan emosional yang sesungguhnya, dan memiliki kemampuan membuat kita merasa ingin berada disana 3) bahkan ketika kita disana, kita juga melihatnya dengan cara yang sama.
Melihat dan mencitrakan tubuh pria merupakan aspek integral dari budaya seputar musik populer pasca perang.Pemirsa 'dewasa' juga dipenuhi oleh berbagai genre melalui tokoh pria (lagi-lagi, biasanya putih) seperti Jon Bon Jovi, Chris Isaak dan Mick Jagger, meskipun pemusik hitam seperti almarhum Marvin Gaye dan Lionel Ritchie juga memiliki peran sebagai berikut. Olahraga adalah domain tradisional di mana pria dapat melihat dan bahkan menyentuh atau merangkul pria lain tanpa stigmatisasi homofobia. Selanjutnya, tipikal 'ahli', penggemar olahraga pria yang sebenarnya 'secara resmi' memandang tubuh olah raga laki-laki secara teknis daripada estetika atau erotis. Tubuh adalah instrumen pertunjukan olahraga tertinggi daripada undangan untuk memenuhi hasrat. Dengan berpotensi membuka diri terhadap 'feminisasi' citra tubuh mereka dengan digambarkan secara seksual, olahragawan berusaha melawan proses semacam itu dengan melakukan sesuatu - apa saja - dan bukan hanya menerima tatapan.
Terdapat sebuah contoh kasus terhadap seorang Andrew Ettingshausen. Miller (1998) meneliti secara terperinci kasus penghinaan yang terkenal di mana Ettingshausen berhasil menggugat majalah HQ pada tahun 1993 karena menerbitkan fotonya telanjang di kamar mandi tanpa seizinnya. Sementara dia membiarkan dirinya tampil di berbagai media lainnya untuk majalah wanita yang dengan jelas memanfaatkan daya tarik seksnya (pembaca majalah Cleo edisi Australia pernah memilihnya sebagai 'Sexiest Man Alive').
Kasus ini menyoroti tiga bidang utama sensitivitas yang telah kita lihat berlaku di saat melakukan memotretan tubuh laki-laki dalam bidang sport: mencegah pandangan alat vital, menghindari saran tentang ketidakpedulian atau ketidakberdayaan, dan berkonsentrasi pada daya tarik heteroseksual dan homoseksualnya. Miller mengatakan bahwa model pin-up pria menggambarkan ketidakamanan, ketidakstabilan, dan kontradiksi maskulinitas.Berlawanan dengan ikon maskulin konvensional, model pin-up lebih mengamankan tubuh.
Gambaran Rodman yang beredar dengan mudah di surat kabar, majalah dan buku, termasuk karya akademis seperti Baker dan Boyd's (1997) Out of Bounds: Olahraga, Media dan Politik Identitas, tampak menggambarkan bicepsnya dan menggigit rantai logam, jelas merupakan keberangkatan utama dari gambar olah raga tradisional yang ortodoks yang masih merupakan bagian besar dari fotografi olahraga.
Masih perlu ditanyakan bagaimana gambar semacam itu bisa dibaca sebagai indeks keadaan maskulinitas olahraga.Salah satu tanggapan yang jelas adalah dengan memastikan bahwa mereka hanya efek dari mesin media olahraga Amerika, sebuah 'pertunjukan aneh' yang dirancang untuk memberi status selebriti kepada para ekshibisi yang menginginkan publisitas.Diperkirakan bahwa citra sport imageakan memainkan peran yang lebih menonjol dalam mencatat perubahan budaya dan menantang ideologi sosial yang ada. Citra olahraga maskulin semakin terstimulasi dimana 'berkat komodifikasi subjek laki-laki, laki-laki dibawa ke dalam terang narsisisme dan pembelian.
Transformasi modernitas dan postmodernitas telah bergema melalui 'budaya tubuh' dari berbagai masyarakat dan zaman (Eichberg 1998). Tingkat otot yang tinggi di kalangan wanita sering digambarkan sebagai sesuatu yang aneh dan 'sosok yang mirip laki-laki', dan secara homofobia dicemooh sebagai tanda lesbianisme (Wright and Clarke 1999; Miller 2001). Dalam menghadapi permusuhan yang memperparah media tersebut, seringkali ada upaya untuk memulihkan tubuh wanita berotot yang dicitrakan untuk model biner pria maskulin dan wanita feminin konvensional.
Tapi, seperti kata pepatah lama, 'sebuah gambar menceritakan seribu kata', dan di majalah binaraga, ini menceritakan sebuah kisah yang mencoba membawa kembali struktur kekuatan gender.Sementara, dalam satu cara, kata-kata tertulis tersebut berfungsi untuk memecah subkultur yang didominasi oleh batas-batas kaku yang berfungsi untuk menahan dan membangun gender sesuai dengan sistem kekuasaan yang dinegosiasikan seputar perbedaan seksual.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sebuah foto olahraga menjadi sesuatu yang bersifat seksual dan erotis.Sebagai disiplin yang berhubungan dengan tubuh seseorang, keseksian bisa menjadi produk kedua dari ekspresi sensual tubuh seorang dalam bidang olahraga di beberapa cabang olahraga, dan ini tidak bisa terpisahkan.
Bab ini berkonsentrasi pada 2 tipe foto olahraga. Yang pertama adalah aksi dari fotografi itu sendiri dan yang kedua adalah bahwa gambar olahragawan dan wanita mengambil banyak bentuk, seperti gambar pin-up dan estetika. Foto-foto ini bergantung pada representasi aspek olahraga yang dapat dikenali, seperti tubuh atlet terkenal atau 'tanda-tanda' olahraga seperti seragam atau peralatan.Pada olahraga itu sendiri.Posh'n'Becks sebelumnya dan sejak dulu merupakan media yang bisa menarik perhatian banyak orang untuk materi fotografi. Pernikahan mereka di kastil Irlandia tahun 1999, misalnya, menarik liputan media yang besar, dengan gambar pernikahan terjual secara eksklusif seharga £ 1 juta untuk OK! Majalah, yang masalah pernikahannya pada gilirannya terjual antara 350 dan 400 kali lebih banyak dari biasanya (Cashmore 2002: 32-3).Teks semacam itu, dengan koneksi yang lebih kuat atau lemah terhadap olahraga, tersebar di seluruh media, dengan olahraga sebagai fokus atau sebagai aspek tambahan yang membantu mengamankan ketertarikan dengan asosiasi.Fungsi asosiatif inilah yang sangat penting bagi citra iklan menggunakan olahraga sebagai elemen kunci dalam menangani konsumen potensial.
Penggunaan iklan dan promosi gambar diam atlet pria kulit hitam disebutkan di atas sebagai salah satu praktik paling umum dalam persuasi konsumen kontemporer.Sebagai contoh ada bola basket pensiunan Michael Jordan yang meng-endorsing produk Nike.Atlet pemenang multi-medali Carl Lewis memodelkan rangkaian Nike 'Apparel',  sementara Tiger Woods tampaknya mencakup seluruh blok kedai Madison Avenue. Dapat dikatakan bahwa gambaran positif semacam itu dari kelompok minoritas yang tunduk pada rasisme dan kecurigaan yang mendalam dalam budaya putih dominan merupakan tanda baik kemajuan sosial. Namun, seperti yang diamati oleh McKay (1995: 192), gambar menarik orang kulit hitam yang sangat istimewa memompa keluar slogan seperti 'Just do it' (Nike), 'There is no limit (Puma) dan ‘Life is short. Play hard’ (Reebok)membantu menyembunyikan keterasingan. Bagi Boyd (1997 dan juga Maharaj 1997), hasil pemilihan dan dekontekstualisasi aspek budaya laki-laki kulit hitam, dihubungkan dengan aspek olahraga yang menarik, dan kemudian menggabungkan kombinasi tersebut menjadi ikonografi konsumen (terbentang dari ortodoks ke sosok yang lebih mengancam Dari 'nigga yang buruk') bukanlah pembebasan dan peningkatan minoritas tertindas, namun komodifikasi dan ekspektasi perbedaan dan hambatan mereka (Marquesee 1999).

Bagian ini tidak melakukan tinjauan menyeluruh tentang setiap jenis dan genre foto olahraga dan cara membacanya, melainkan untuk menunjukkan bagaimana mereka berkembang biak di media dan dikaitkan dengan penayangan, ideologi, mitos, dan teks-teks lain yang berbeda dan menjadikan mereka komponen penting dari budaya kontemporer.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here